Uang Mana Uang?

Mungkin sebagian kita sudah paham bahwa Allah Maha Memberi Rezeki dan Dia memberi rezeki setiap saat, tapi tetap merasa was-was apalagi saat di depan mata nampak kebutuhan yang menggunung tapi belum nampak "hilal" atau tanda-tanda uang datang.

Misalnya biaya masuk sekolah anak yang berpuluh-puluh juta, atau tagihan ini itu total jutaan, dimana kebutuhan itu ada batas waktu pemenuhannya, mesti ada tanggal sekian. Kalau telat, malah tambah runyam masalahnya.

Jadi nasehat "tenang ada Allah" kenyataannya tak membuat benar-benar tenang. Tetap saja kepikiran, tetap saja celingak-celinguk mencari peluang kadang grasak-grusuk kesana kemari, mencari uang berada.

Semakin hari, semakin dekat ke batas waktunya, semakin panik rasanya.

Pernah mengalami itu?

***

Konon ikhlas itu memiliki kekuatan, mampu membuat keajaiban yang tak masuk logika. Tapi bagaimana bisa ikhlas sementara tagihan semakin dekat sementara uang belum ada?

Sebenarnya ikhtiar kita adalah upaya menyelematkan diri dari ketakutan, takut sekolah tak terbayar sehingga anak tidak masuk sekolah.

Apa kata orang kalau anak ternyata di rumah? Alasan apa yang dikemukakan kalau ternyata saudara atau tetangga nanya? Bagaimana perasaan anak bila melihat temannya sekolah sementara dia enggak?

Itu kan yang ditakutkan? Lalu semakin bayangan itu muncul, semakin takut, semakin "memaksa" harus ada uang secepatnya!

Pun dengan tagihan, apa jadinya bila tak terbayar? Bagaimana kalau si penagih mengadu ke saudara atau datang ke rumah? Mau ditaro dimana muka ini? 

Bagaimana bila anak-anak melihat orang tuanya dipermalukan di depan umum? Ya Tuhaaaaaaaan... Rasanya tak kuat lagi membayangkannya.

Maka ketakutan semakin besar semakin mendorong untuk segera mengadakan uang, bahkan "dengan cara apa pun!"

Seorang ibu rumah tangga sampai berdoa, "ya Allah datangkanlah uang baik halal maupun haram." Saking merasa butuh kepepet. Lalu ketika ada tawaran yang sebenarnya haram, diambil juga.

Sebenarnya yang ditakutkan itu belum tentu terjadi, ia adalah kalkulasi matematika di pikiran atau hubungan sebab akibat. Sementara masa depan tak tersusun atas dasar itu.

Anak muda sehat, kesehariannya menyenangkan, yang sedang shalat bisa meninggal tiba-tiba. Sedangkan orang tua sakit yang rajin marah-marah menyakiti orang terdekat, masih saja hidup.

Jadi PR kita adalah melepas imajinasi yang ditakutkan itu agar gugur hubungan sebab akibat atau kalkulasi matematika yang merangkai di pikiran.

Caranya adalah bayangkan kembali hal yang ditakutkan lalu ucapkan "saya ridho ya Allah, saya terima, saya pasrahkan solusinya kepadaMu" lalu dilanjutkan hooponopono dan istighfar berulang-ulang sampai merasa lega.

Jadi sampai lega.

Saat sudah lega, bisa jadi gambar yang ditakutkan itu hilang sendiri atau tetap ada tapi perasaan lega tak ada gelisah. Saat itulah pikiran ikut tenang dan bisa fokus ke hal yang baik.

Selanjutnya banyak memuji Allah dengan berdzikir atau membaca Al Quran, biasanya muncul gagasan brilian untuk mengatasi masalah. Meski bisa jadi ingin melakukan sesuatu yang ternyata hal itu justru solusi yang dicari.

Intinya adalah hati terus menerus tenang, damai, dan khusyu berdzikir kepada Allah. Sehingga pikiran memiliki kesempatan untuk menghadirkan imajinasi positif yang produktif.

Wallahu'alam

Komentar